Aku tak tahu kemalangan jenis apa yang menimpa kamu, tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di dunia serba seluler ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkinkah matahari lupa ingatan lalu keasyikan terbenam dan terlambat terbit? Bahkan kiamat pun hanya bicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal. Atau mungkinkah ini akan jadi suatu kiamat kecil yang ramai orang gunjingkan, tentang lelaki berbaju perempuan, perempuan berbaju lelaki, lelaki bercinta dengan lelaki dan perempuan bercinta dengan perempuan, dan kalau mereka menengok sejarah manusia ribuan tahun terakhir ini, tidakkah tanda semacam itu sudah apkir, klise, dan kiamat harus menyiapkan tanda-tanda baru bila masih ingin jadi hari yang paling diantisipasi, dengan misalnya mengadopsi absurditas yang terjadi malam ini? Malam dimana kamu terlambat mengucapkan apa yang seharusnya kamu ucapkan......
Satu tahun. Dua kata itu bercokol bagai belut-belut listrik yang menyengatku setiap kali mereka teraktivasi. Sengatan yang kadang membuat semangat, membuat nelangsa, membuat rindu, dan kadang juga melumpuhkan. Persis yang ku alami sekarang.
Satu tahun ku tunggu hari ini. Seperti tahanan yang mengangankan langit luas dan ketika gerbang penjara terbuka, ia malah ingin lari kembali ke kukungan tembok yang membatasi langitnya. Cakrawala yang tak terbatas, tanpa pembiasan, bisa lebih mengerikan ketimbang sepetak langit yang dijatahkan setiap hari lewat rutinitas. Kemerdekaan ini membuat sistem ku kejut dan kejang.
Ingin rasanya aku berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkram bahumu agar kau tahu aku ada disini. Namun bahasaku tinggal rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi ada. Aku hanya ingin merengkuhmu. Adakah engkau tahu? Aku ada. Telah kau catat tanggal kepergianku, dan memang aku tak pernah kembali dalam bentuk yang kau harapkan. Namun adakah engaku tahu? Aku ada. Meski mendapatkanmu seperti lawatan ke museum tempat segala keindahan dikurung etalase kaca hingga berlapis saat disentuh, aku tetap merasa utuh.
Percayakah kamu? Dengarkah kamu? Aku ada. Kedalam perasaan inilah engkau dan aku bermuara, kedalam perasaan inilah engakau akan pulang dan bertemu aku. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu....
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah mengiringinya. Dan jika peristiwa jatuh hati di umpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan air terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barang kali kita berdua, tanpa kita sadari. Barang kali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memacah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita jengah dan akhirnya berpisah dalam amarah.
Satu tahun. Dua kata itu bercokol bagai belut-belut listrik yang menyengatku setiap kali mereka teraktivasi. Sengatan yang kadang membuat semangat, membuat nelangsa, membuat rindu, dan kadang juga melumpuhkan. Persis yang ku alami sekarang.
Satu tahun ku tunggu hari ini. Seperti tahanan yang mengangankan langit luas dan ketika gerbang penjara terbuka, ia malah ingin lari kembali ke kukungan tembok yang membatasi langitnya. Cakrawala yang tak terbatas, tanpa pembiasan, bisa lebih mengerikan ketimbang sepetak langit yang dijatahkan setiap hari lewat rutinitas. Kemerdekaan ini membuat sistem ku kejut dan kejang.
Ingin rasanya aku berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkram bahumu agar kau tahu aku ada disini. Namun bahasaku tinggal rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi ada. Aku hanya ingin merengkuhmu. Adakah engkau tahu? Aku ada. Telah kau catat tanggal kepergianku, dan memang aku tak pernah kembali dalam bentuk yang kau harapkan. Namun adakah engaku tahu? Aku ada. Meski mendapatkanmu seperti lawatan ke museum tempat segala keindahan dikurung etalase kaca hingga berlapis saat disentuh, aku tetap merasa utuh.
Percayakah kamu? Dengarkah kamu? Aku ada. Kedalam perasaan inilah engkau dan aku bermuara, kedalam perasaan inilah engakau akan pulang dan bertemu aku. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu....
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah mengiringinya. Dan jika peristiwa jatuh hati di umpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan air terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barang kali kita berdua, tanpa kita sadari. Barang kali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memacah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita jengah dan akhirnya berpisah dalam amarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar