Minggu, 10 Januari 2016

Bapak Sakit

Bapak saya lagi sakit. Dan itu bikin hati saya remuk seremuk-remuknua. Dua hari yg lalu, bapak saya pindah ruangan dari kamar rawat inap biasa ke ruang ICU karena kondisinya yang makin drop. Beliau punya penyakit asma aku sehingga sangat rentan sama udara dingin, terlebih pada aktivitas yang berlebih.

Menyaksikan pemandangan seperti ini, beneran deh saya ga sanggup. Alat-alat medis yang kebelnya banyak itu pasti bikin bapak kesakitan. Pemasangan selang pernafasan dan kateter untuk sistem ekskresi itu bukan main 'sadis' nya. Buat kita yang normal, mungkin bernafas biasa adah bukan hal yang mewah. Tapi buat kondisi bapak sekarang, menghirup dan menghembuskan nafas dengan normal itu jadi sesuatu yang sangat mahal dan berharga. Pengen nafas aja, pas sesek, bapak sampai ga bisa ngomong sampai seluruh badannya merah padam. Maka di itu, bersyukurlah kita yang lagi sehat bisa bernafas normal.

Kalau bapak lagi sakit gini, tetiba kepala saya suka flashback dan inget kejadian-kejadian waktu sama bapak. Hal yang paling saya inget adalah ketika ijab qabul, dimana hal tersebut menjadi moment pemindahan tanggung jawab atas saya dari bapak ke suami saya. Seumur hidup. Kitab suci pun menjelaskannya hingga arsy pun bergetar karenanya.

Dan saya pun teringat, Mei nanti insya Allah saya melahirkan. Artinya, bapak akan punya gelar perdana sebagai kakek. Sebelum nikah pun saya sempet ngebayangin gimana nanti kalau anak sendiri main sama kakeknya. Dituntunin jalan, belajar sesuatu, atau sekedar ngobrol-ngobrol kecil. Perasaan saya jadi merinding sediri plus 'amazed'.

Kepada Allah saya memohon, supaya bapak punya rezeki dan kesempatan untuk bisa main sama cucu-cucunya sambil diteriakin 'kakeeeek...kakeeeek...' Seperti apa yang saya bayangkan.

Hari ini saya sedang menunggu keajaiban dan kemurahan hati Sang Maha Kuasa untuk memberi kekuatan dan kesabaran supaya bapak bisa bangun dari tidur panjangnya selama di ICU.

Pak, Merin sayang bapak. Hayu pulang :')

Minggu, 03 Januari 2016

Tujuan Picisan

Semenjak nikah, saya jadi ga terlalu mikirin yang namanya trend. Sebagian besar wanita seusia saya mungkin pagi gencar-gencarnya searching gaya hijab terbaru, baju lagi apa yg lagi in dan dari mall atau label mana, tas yg gimana yang up to date, dan lain-lain.

Sebagian lainnya ada yg hobi jalan-jalan. Nyobain tempat makan paling dicari di Bandung, rela nunggu wl yang berjamjam, lalu 'cekrek', dan upload ke socmed. Sip, resmi jadi anak gaul Bandung.

Dulu juga saya sempet kaya gitu, terbawa arus trend dan berlomba-lomba buat eksis. Setelah itu kepikiran.... "Buat apa?". Tentu jawaban saya karena orang-orang lagi meng-hits-kan tempat itu, lalu saya tertarik, dan pengen dong upload ke path biar eksis. Tapi lama-lama saya nyadar dengan satu kata; riya.

Riya artinya ingin dipuji atau disanjung orang lain. Sepicisan itu kah tujuan hidup saya. Ngabisin uang yang sekarang udah mulai kerasa susah nyari dan nyimpennya. Kemudian untuk sekedar ngencleng masjid atau sedekah, uang yg 50rb buat jalan-jalan dianggap enteng, tapi buat sedekah rasanya berat. Mulanusia macam satya ini yang kayanya sangat belum layak masuk surga. Astagfirullahaladzim...

Saya pun mengutukin diri sendiri. Teringat hobi pas kuliah, saya lebih suka ngabisin waktu buat baca buku, nulis, atau berkreasi pake barang bekas atau kain-kainan. Mengutip quote disebuah artikel, "dunia terlalu kejam hanya untuk wanita yang pandai berdandan dan hura-hura. Banggalah jadi wanita yang berdaya, beprestasi, dan kreatif".

Tak ayal, Dian Sastro atau blogger Martha Puri jadi inapirator saya. Cantik, berwawasan luas, kreatif, dan juga humble. Mentafakuri diri ditambah belajar dari berbagai sumber, kayanya harus dimulai. Kapan? Sekarang!