Senin, 26 Juli 2010

Cerita dua kali tiga


Cat kuning yang melumuri tembok berbahan batu bata itu menjadi saksi bisu canda tawaku 4 tahun terakhir. Kamar berukuran 2x3 meter ini pula sellau menjadi pendengar yang baik dalam perkembangan emosi si anak labil. Sering terlihat derai air mata, air mata bahagia dan air mata duka dengan puluhan alasannya.

Cemin panjang yang melekat pada wajah sebelah kiri almari juga selalu setia memaparkan patut tidaknya penampilan si anak labil dengan segala gaya dan tingkah anehnya. Ruangan kecil ini tampak hidup dengan radio yang selalu menyala sedari sore hingga pagi menjelang.




Retakan pada kaki meja belajar seolah menjadi si penguping setia celotehan yang hanya beberapa telinga saja yang paham, namun ia selalu paham atau pura-pura paham dengan celotehan yang tak berbobot itu.


Debu-debu dan uang receh dibalik kasur kecil memeriahkan fenomena kamar si anak labil, ia gemar mengacuhkan uang receh yang tercecer dari isi kantong lesuhnya.


Wahai ruangan cat dinding kuning, cermin almari, kaki meja dan debu, masiih ingatkah kau ketika aku bicara tentang rasanya jatuh cinta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar