Minggu, 24 Oktober 2010
ha.u.je.a.en
Sabtu, 23 Oktober 2010
TGIF
Selalu suka hari jumat. Tau kenapa? Entah ya, jumat tuh bawaanya seneng. Dulu apalagi waktu masih kecil, hari jumat itu hari yang paling ditunggu. Tiap hari jumat pasti begadang sambil nonton the simpson buat nunggu ayah pulang dari jakarta, karena dulu ayah saya pulang seminggu sekali, jumat pulang ke rumah, tapi minggu pulang lagi ke Jakarta. Saya selalu nunggu dan berharap, malem ini ayah bawa oleh-oleh apa ya dari ibu kota Indonesia itu.
Selanjutnya jumat selalu ditunggu karena hari jumat sekolah pasti pulang jam sebelas, bisa pulang cepet dan maeeenn. Oia, tiap hari jumat juga jadwal olah raga sama jadwal nonton d’tidakks. Sekarang, hari jumat jarang ada jadwal kuliah, jadi weekend nya panjang deh, bisa puas-puasin ada di rumah. Hari jumat biasanya ada teh manis gratis di warteg panorama, hari jumat juga jadi hari ‘beramal’
Hari jumat bawaannya tuh teduh, adem, tenang, jumat jadwalnya jalan-jalan santai. Jumat selalu ada kejutan, pokonya sangat suka sama hari jumat. Makanya RAN bikin lagu T.G.I.F (Thank’s God It’s Friday) ^__^
Mata Hati telinga (Maliq And D'Essentialls)
Coba 'tuk memahami arti cinta
Benarkah cinta diatas segalanya
Hanyakah itu satu-satunya
Yang menjadi alasan untuk menutup mata
Tak melihat dunia yang sesungguhnya
Dan menjadi jawaban atas semua tanya
Yang kita harap mampu mewujudkan sebuah akhir bahagia
Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta ooo..
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
Adakah kau rasakan kadang hati dan fikiran
Tak selalu sejalan seperti yang kau harapkan
Tuhan tolong tunjukkan apa yang 'kan datang
Hikmah dari semua misteri yang tak pernah terpecahkan
Buka mata hati telinga
Buka mata hati telinga
Coba kau buka mata hati telinga
Mata hati telinga
Bunga Gardenia Putih
Setiap tahun pada hari ulang tahunku, sejak usia 12 tahun, setangkai bunga gardenia (kacapiring) putih dikirim ke rumahku tanpa anma. Tak pernah ada sepucuk kartu atau catatan, dan upaya menelepon ke toko bunga sia-sia karena pemeblian dilakukan secara kontan. Tak lama kemudian, aku pun berhenti mencoba menemukan jati diri si pengirim. Aku nikmati saja keindahan wanginya yang semerbak, sekuntum bunga putih sempurna penuh daya pikat dibungkus dalam lipatan selembar kertas tisu merah muda yang lembut.
Namun aku tak pernah berhenti membayangkan siapa gerangan pengirimnya. Beberapa kenangan yang paling menyenangkan pun masuk dalam impian, tentang seseorang yang menggairahkan dan menakjubkan, tetapi terlalau malu atau eksentrik untuk memeprkenalkan dirinya. Di masa remajaku, sungguh menyenangkan membayangkan si pengirim mungkin seorang anak lelaki yang telah ku hancurkan hatinya atau mungkin juga seseorang yang tidak ku kenal yang menaruh perhatian padaku.
Ibu ku sering kali menambah-nambahi dugaan-dugaanku. Dia bertanya padaku, kalau-kalau ada seseorang yang terhadapnya telah melakukan suatu perbuatan baik, yang mungkin kemudian diam-diam menunjukan penghargaannya. Dia mengingatkanku pada saat-saat ketika aku sedang mengendarai sepeda dan tetangga kami mengendarai mobilnya penuh dengan barang belanjaan dan anak-anak. Aku selalu membantunya menurunkan barang dari mobil dan menjaga anak-anaknya agar tidak berlarian ke jalan. Atau boleh jadi si pengirim misterius itu adalah si orang tua diseberang jalan. Aku selalu membantu mengambilkan suratnya diwaktu musim dingin, sehingga ia tak perlu menuruni tangga rumahnya yang diselimuti es. Ibuku berusaha keras mengembangkan imajinasiku tentang bunga gardenia. Ia ingin anak-anaknya menjadi kreatif, ia selalu ingin agar kami merasa dicintai dan dihargai, tak hanya olehnya, tetapi oleh seluruh dunia.
Ketika aku berusia 17 tahun, seorang pria menghancurkan hatiku. Pada malam hari terakhir kali ia menelepon, aku menangis sampai lelap tertidur. Ketika aku terbangun pagi hari, ada sebuah pesan tertulis dengan lipstick merah di kaca ku, “ketahuilah dengan sungguh-sungguh, bila yang setengah dewa pergi, dewa-dewa pun akan datang”. Lama akau merenungkan kutipan yang berasal dari Emerson itu, dan aku membiarkan tulisan itu ditempat ibuku menuliskannya sampai hatiku pulih. Dan ketika aku mencari pembersih kaca, ibu ku pun tahu bahwa segalanya telah pulih kembali.
Tetapi ada sejumlah luka yang tak bisa disembuhkan ibuku. Sebulan sebelum wisuda SMA, ayahku tiba-tiba meninggal karena seranagn jantung. Perasaanku campur aduk mulai dari sekedar duka sampai ke merasa ditinggalkan, takut, tak percaya serta kemarahan yang meluap-luap karena ayahku telah melewatkan satu momen terpenting didalam hidupku. Aku pun sama sekali tidak bergairah terhadap acara wisuda mendatang, drama kelas senior serta peserta dansa, acara-acara yang telah aku persiapkan dan tunggu-tungu. Aku bahkan berminat untuk tinggal dirumah dan masuk perguruan tinggi dari pada pergi jauh sebagaimana yang telah kurencanakan, karena hal ini terasa lebih aman.
Ibuku, ditengah kedukaannya sendiri, tak menginginkan aku sampai kehilangan hal-hal penting seperti itu. Sehari sebelum ayah meninggal, kami berdua pergi membeli pakaian dansa dan kami temukan satu yang mengagumkan. Terbuat dari bermeter-meter kain swiss berbintik-bintik, merah, putih, biru. Mengenakannya membuatku merasa bagaikan Scarlett O’Harra. Tetapi ukurannya tak pas,d n ketika ayahku wafat keesokan harinya, aku melupakan sama sekali soal pakaian itu.
Tetapi ibuku tidak. Sehari sebelum pesta dansa, aku mendapatkan baju itu tengah menungguku, dalam ukuran yang pas. Ia terbentang dengan anggunnya di atas sofa ruang tamu, terpampang dihadapanku dengan cantik dan artistic. Barang kali aku tak peduli etntang baju baru, tetapi ibuku peduli.
Dia memperhatikan bagaimana kami, anka-anak menghargai diri kami sendiri. Ia menanamkan pda kami rasa takjub atas keberadaan kami di dunia, dan dia memberikan kepada kami untuk melihat keindahan bahkan ditengah-tengah kesengsaraan.
Sungguh ibuku ingin agar anak-anaknay melihat diri mereka bagaikan bunga gardenia: indah, kuat, sempurna dengan aura menggairahkan dan barangkali sedikit misteri.
Ibuku meninggal ketika aku berusia 22, hanya 10 hari setelah aku menikah. Dan sejak tahun itulah bunga-bunga gardenia tak datang lagi.
(Chicken Soup: for the Woman’s Soul)
Wanita yang Hebat
Para wanita Cantik bertanya-tanya dimana rahasiaku terletak.
Aku tidak mungil atau memiliki bentuk tubuh yang aduhai
Tetapi ketika aku meulai mengatakan kepada mereka,
Mereka pikir aku berdusta.
Aku bertaka,
Itu dalam jangkauan tanganku,
Dan cibiran bibirku.
Aku seorang wanita
Secara luar biasa.
Wanita yang hebat.
Itulah aku.
Aku berjalan memasuki ruangan
Sesejuk kamu menyambut,
Dan kepada seorang lelaki,
Orang-orang yang berdiri atau berlutut.
Lantas meerak menegruminuku,
Sarang lebah madu,
Aku berkata,
Itu adalah api dalam mataku,
Dan kemilau gigiku,
Goyangan pinggulku,
Dan kegembiraan dalam kakiku.
Aku seorang wanita
Secara luar biasa.
Wanita yang hebat,
Itulah aku.
Kau lelaki sendiri bertanya-tanya
Apa yang mereka lihat dalam diriku.
Mereka berusaha mati-matian
Tetapi mereka tidak dapat meneyntuh
Misteri batinku.
Ketika aku mencoba menunjukan kepada mereka
Mereka mengatakan tidak dapat melihat.
Aku mengatakan,
Itu dalam lengkungan punggungku,
Mentari senyumku,
Debaran jantungku,
Keagungan gayaku.
Aku seorang wanita
Secara luar biasa.
Wanita yang hebat,
Itulah aku.
Sekarang kamu mengerti
Mengapa kepalaku tidak tertunduk.
Aku tidak berteriak atau melompat
Aku harus bicara begitu keras.
Ketikakamu melihatku berlalu
Itu harusnya membuatmu bangga.
Aku mengatakan,
Itu ada dalam tumitku,
Dalam tubuhku yang mengombak,dalam tapak tanagnku,
Kebutuhan akan kepedulianku.
Sebab aku seorang wanita
Secara luar bisa.
Wanita yang hebat,
Itulah aku.
Maya Angelou
(Chicken Soup: for the Woman’s Soul)
Rabu, 06 Oktober 2010
Gradasi Warna
Dibalik dinding ini ada lengkung pelangi
biasnya pancarkan rona yang baru
hingga timbul elok cerah tujuh warna
Adakah aku air dan engkau cahaya?
aku binar...
aku damai...
Sesaat tujuh warna menghambur
tak akan ada jingga
ketika merah enggan menyatu kuning,
merah egois...
Tanpa sadar nilamu tertinggal
diujung kemejaku
Beberapa warna kian pudar
engkau perlahan hilang
kan ku torehkan biru dipelipismu
hingga awan mengira
bahwa aku aniayaimu
Makin larut engkau pun hilang
kau bukanlah bagian dari
gradasi pelangiku lagi.....
Langit Baleendah, Oktober 2010