Sabtu, 23 Oktober 2010

Bunga Gardenia Putih


Setiap tahun pada hari ulang tahunku, sejak usia 12 tahun, setangkai bunga gardenia (kacapiring) putih dikirim ke rumahku tanpa anma. Tak pernah ada sepucuk kartu atau catatan, dan upaya menelepon ke toko bunga sia-sia karena pemeblian dilakukan secara kontan. Tak lama kemudian, aku pun berhenti mencoba menemukan jati diri si pengirim. Aku nikmati saja keindahan wanginya yang semerbak, sekuntum bunga putih sempurna penuh daya pikat dibungkus dalam lipatan selembar kertas tisu merah muda yang lembut.

Namun aku tak pernah berhenti membayangkan siapa gerangan pengirimnya. Beberapa kenangan yang paling menyenangkan pun masuk dalam impian, tentang seseorang yang menggairahkan dan menakjubkan, tetapi terlalau malu atau eksentrik untuk memeprkenalkan dirinya. Di masa remajaku, sungguh menyenangkan membayangkan si pengirim mungkin seorang anak lelaki yang telah ku hancurkan hatinya atau mungkin juga seseorang yang tidak ku kenal yang menaruh perhatian padaku.


Ibu ku sering kali menambah-nambahi dugaan-dugaanku. Dia bertanya padaku, kalau-kalau ada seseorang yang terhadapnya telah melakukan suatu perbuatan baik, yang mungkin kemudian diam-diam menunjukan penghargaannya. Dia mengingatkanku pada saat-saat ketika aku sedang mengendarai sepeda dan tetangga kami mengendarai mobilnya penuh dengan barang belanjaan dan anak-anak. Aku selalu membantunya menurunkan barang dari mobil dan menjaga anak-anaknya agar tidak berlarian ke jalan. Atau boleh jadi si pengirim misterius itu adalah si orang tua diseberang jalan. Aku selalu membantu mengambilkan suratnya diwaktu musim dingin, sehingga ia tak perlu menuruni tangga rumahnya yang diselimuti es. Ibuku berusaha keras mengembangkan imajinasiku tentang bunga gardenia. Ia ingin anak-anaknya menjadi kreatif, ia selalu ingin agar kami merasa dicintai dan dihargai, tak hanya olehnya, tetapi oleh seluruh dunia.

Ketika aku berusia 17 tahun, seorang pria menghancurkan hatiku. Pada malam hari terakhir kali ia menelepon, aku menangis sampai lelap tertidur. Ketika aku terbangun pagi hari, ada sebuah pesan tertulis dengan lipstick merah di kaca ku, “ketahuilah dengan sungguh-sungguh, bila yang setengah dewa pergi, dewa-dewa pun akan datang”. Lama akau merenungkan kutipan yang berasal dari Emerson itu, dan aku membiarkan tulisan itu ditempat ibuku menuliskannya sampai hatiku pulih. Dan ketika aku mencari pembersih kaca, ibu ku pun tahu bahwa segalanya telah pulih kembali.

Tetapi ada sejumlah luka yang tak bisa disembuhkan ibuku. Sebulan sebelum wisuda SMA, ayahku tiba-tiba meninggal karena seranagn jantung. Perasaanku campur aduk mulai dari sekedar duka sampai ke merasa ditinggalkan, takut, tak percaya serta kemarahan yang meluap-luap karena ayahku telah melewatkan satu momen terpenting didalam hidupku. Aku pun sama sekali tidak bergairah terhadap acara wisuda mendatang, drama kelas senior serta peserta dansa, acara-acara yang telah aku persiapkan dan tunggu-tungu. Aku bahkan berminat untuk tinggal dirumah dan masuk perguruan tinggi dari pada pergi jauh sebagaimana yang telah kurencanakan, karena hal ini terasa lebih aman.

Ibuku, ditengah kedukaannya sendiri, tak menginginkan aku sampai kehilangan hal-hal penting seperti itu. Sehari sebelum ayah meninggal, kami berdua pergi membeli pakaian dansa dan kami temukan satu yang mengagumkan. Terbuat dari bermeter-meter kain swiss berbintik-bintik, merah, putih, biru. Mengenakannya membuatku merasa bagaikan Scarlett O’Harra. Tetapi ukurannya tak pas,d n ketika ayahku wafat keesokan harinya, aku melupakan sama sekali soal pakaian itu.

Tetapi ibuku tidak. Sehari sebelum pesta dansa, aku mendapatkan baju itu tengah menungguku, dalam ukuran yang pas. Ia terbentang dengan anggunnya di atas sofa ruang tamu, terpampang dihadapanku dengan cantik dan artistic. Barang kali aku tak peduli etntang baju baru, tetapi ibuku peduli.

Dia memperhatikan bagaimana kami, anka-anak menghargai diri kami sendiri. Ia menanamkan pda kami rasa takjub atas keberadaan kami di dunia, dan dia memberikan kepada kami untuk melihat keindahan bahkan ditengah-tengah kesengsaraan.

Sungguh ibuku ingin agar anak-anaknay melihat diri mereka bagaikan bunga gardenia: indah, kuat, sempurna dengan aura menggairahkan dan barangkali sedikit misteri.

Ibuku meninggal ketika aku berusia 22, hanya 10 hari setelah aku menikah. Dan sejak tahun itulah bunga-bunga gardenia tak datang lagi.

(Chicken Soup: for the Woman’s Soul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar