Bukan rahasia lagi, pengangguran di negara kita ini memang sudah terlalu banyak untuk dihitung dengan tusuk gigi lima kardus. Sebenarnya orang Indonesia itu pintar, sayang pintarnya bukan pada tempatnya. Ya, seperti ayahku, ia menyebut dirinya sebagai seorang persuator ulung. Salesman tingkat dunia mungkin bisa kalah olehnya. Ia pembujuk yang hebat, terutama pada anak-anak, terkecuali aku.
Meski aku masih bocah berusia delapan tahun, aku tahu benar seperti apa ayahku ini. Semenjak ibuku meninggal setahun yang lalu, naluri ‘persuatornya’ itu berkembang pesat, meski sedikit berbeda ranah. Dulu ayahku memang seorang sallesman ulung. Ia beberapa kali naik jabatan disebuah perusahaan elektronik karena rayuan dan argumennya yang menjanjikan konsumen. Tapi semenjak ibu meninggal, ia agak stress beberapa bulan dan setelah itu ia dipecat dari tempatnya bekerja. Sekarang ia berwiraswasta dengan puing-puing keahliannya sebagai sallesman. Seperti yang kubilang diawal, ia pembujuk ulung anak-anak.
Ternyata menjadi persuator anak-anak itu lebih menjanjikan kata ayah, sekarang ayah bisa tambah kaya dengan pekerjaan barunya itu. Kini, kami tak mengontrak rumah lagi. Kami bisa membeli rumah yang cukup sederhana dan kendaraan roda empat yang meski hanya barang second. Ayahku sangat menggemari pekerjaannya ini, begitupun aku. Pekerjaannya mirip dengan pendongeng fabel-fabel kesukaanku.
Ayah selalu pergi pagi-pagi dan pulang sebelum sore. Dalam satu minggu ayah selalu mengajak satu atau dua teman untuk menemaniku bermain, kadang laki-laki kadang perempuan. Kalau ayah mengajak teman sebayaku yang perempuan aku suka sekali, karena gadis perempuan selalu menceritakan tentang permainan masak-masakan dan boneka-boneka Barbie yang cantik. Kalau ayah mengajak teman laki-laki, terkadang aku merasa sebal karena mereka selalu membicarakan mainan mobil-mobilan terbaru yang sama sekali aku tak mengerti. Haah... ayah memang selalu pemilih dalam membawakanku teman.
***
Ini bulan Maret, bulan ke lima ayah tak pulang dan tak membawakanku teman untuk sekedar membicarakan mainan atau acara kartun favoritku. Karena ayah tak kunjung pulang selama lima bulan ini, ku putuskan untuk menginap saja dirumah nenekku yang jaraknya 10 kilometer dari kediaman baruku dengan ayah. Ah...aku bosan diam dirumah nenek, disini tak ada anak-anak sebayaku yang bisa ku ajak bermain, disini hanya ada orang-orang berkulit keriput dan selalu membawa penampi beras. Aku mulai merindukan ayah.
Setiap kali aku bertanya pada nenek kemana ayah, ia selalu menjawab kalau ayahku telah pensiun, ya..pensiun menjadi persuator anak. Aku heran, bukannya ayah sangat menggemari pekerjaannya ini dan bukannya ini juga yang membuat kita hidup layak dan berkecukupan? Kalau ayah pensiun, berarti sekarang aku akan selalu kesepian dan tak punya teman sebaya untuk mengobrol? Baiklah aku terima.
Dulu jikalau malam hari, ayah selalu sibuk dengan teleponnya, tapi aku heran kenapa suaranya selalu diparaukan atau terkakang ia mengobrol di telepon sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan? Dan kalau semalam habis menelepon, keesokan harinya ayah selalu pergi dengan kupluk coklat muda kesyangannya yang menutupi seluruh kepala dan rambutnyanya yang ikal, kecuali bagian kedua bola matanya sambil membawa temanku yang hanya dua sampai tiga hari menginap dirumahku. Ku lihat peristiwa itu berkali-kali. Sayang, saat terakhir aku mengikuti ayah pergi, kulihat teman dihadapannya menangis dan memaki ayahku dengan kasar sambil melemparkan sebuah keresek hitam belang-belang “ini tebusannya ada didalam keresek hitam seperti yang kau minta. Sekarang kembalikan anakku penculik bajingan!!!”.
Selang beberapa jam setelah peristiwa terakhir yang kulihat itu, ada seorang laki-laki berbaju coklat tua dengan kumis tebal. Ia menyeret ayahku dengan kasar dan membawanya pergi dan kini ayah tak pulang lagi.